QRIS sebagai Katalis Transformasi Fiskal Daerah: Mewujudkan PAD yang Transparan dan Akuntabel
Transformasi digital selama ini banyak diasosiasikan dengan gaya hidup modern—belanja daring, transportasi online, layanan cepat, dan cashless society. Tapi sayangnya, makna digitalisasi sering berhenti di situ saja. Padahal, di balik semua kenyamanan itu, ada potensi besar yang kerap terlupakan: bagaimana teknologi bisa dipakai untuk membenahi sistem pemerintahan, membuat pelayanan publik lebih transparan, dan memperkuat keuangan daerah lewat peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Saat banyak daerah mengeluhkan stagnasi penerimaan dan tingginya ketergantungan terhadap dana transfer dari pusat, hadirnya teknologi digital semestinya dibaca sebagai momentum untuk memperbaiki sistem. Di sinilah QRIS (Quick Response Code Indonesian Standard) hadir bukan hanya sebagai alat transaksi, tetapi juga instrumen tata kelola yang strategis.
Salah satu permasalahan klasik dalam penerimaan daerah adalah kebocoran—terutama pada sektor retribusi seperti parkir. Selama ini, sistem retribusi parkir manual banyak menyisakan celah: mulai dari pungutan liar, laporan pendapatan yang tidak sesuai realisasi, hingga penggunaan uang tunai yang tidak tercatat secara sistematis. Semua ini menyebabkan potensi PAD tidak tergali maksimal.
Implementasi QRIS dalam sistem pembayaran parkir telah membuktikan manfaat nyata—dan Jember adalah salah satu contohnya. Melalui kolaborasi antara KPwBI Jember dan pemerintah daerah, sejumlah juru parkir kini telah menggunakan QRIS sebagai alat pembayaran resmi. Transaksi digital membuat pembayaran langsung tercatat secara otomatis dalam sistem, meminimalkan manipulasi, dan mempercepat proses pelaporan. Hal ini bukan sekadar efisiensi teknis, melainkan langkah besar menuju good governance—pemerintahan yang transparan, akuntabel, dan berbasis data.
Yang menarik, penerapan QRIS sejatinya tidak berhenti pada sektor retribusi parkir saja. Potensi pemanfaatannya jauh lebih luas, menyentuh hampir semua lini penerimaan daerah yang selama ini masih bergantung pada sistem pembayaran konvensional. Ambil contoh Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), yang kini sudah mulai bisa dibayarkan secara digital melalui QRIS di beberapa wilayah, termasuk Jember. Mekanisme ini memberikan kemudahan bagi masyarakat, yang sebelumnya harus mengantre atau membawa uang tunai, kini cukup memindai kode QR dari ponsel untuk menunaikan kewajibannya.
Hal yang sama juga berlaku pada retribusi pasar tradisional. Di wilayah seperti Jember dan sekitarnya, retribusi pasar dikelola oleh dinas terkait—biasanya Dinas Perindustrian dan Perdagangan—yang bertugas mencatat dan menarik iuran harian dari pedagang. Dengan adopsi QRIS, proses ini menjadi lebih praktis dan akurat. Para pedagang cukup memindai kode QR untuk melakukan pembayaran, dan dana yang masuk langsung tercatat dalam sistem yang terhubung dengan rekening resmi pemerintah daerah. Bukan hanya memudahkan pedagang, sistem ini juga menyederhanakan pelaporan keuangan bagi dinas terkait, karena semua transaksi tercatat secara otomatis dan dapat dipantau secara berkala.
Lebih jauh lagi, QRIS bahkan dapat diterapkan untuk pembayaran tiket masuk objek wisata milik daerah atau layanan transportasi publik yang dikelola pemda—dua sektor yang menyimpan potensi besar untuk menjadi sumber pendapatan non-pajak. Dengan sistem digital, proses transaksi menjadi lebih tertib, terstandar, dan efisien. Bahkan untuk layanan seperti retribusi kebersihan atau pengelolaan sampah, QRIS dapat menjadi solusi pembayaran rutin yang praktis dan transparan.
Bayangkan bila seluruh jenis penerimaan ini terintegrasi dengan QRIS. Setiap pembayaran akan masuk langsung ke kas daerah, tercatat real-time, dan mudah diaudit. Tak hanya mengurangi potensi korupsi, model ini juga menyederhanakan pengalaman masyarakat dalam membayar kewajiban mereka kepada negara.
QRIS bukan hadir sendiri. Di belakangnya ada komitmen kuat dari Bank Indonesia yang menggandeng pemerintah daerah melalui pembentukan Tim Percepatan dan Perluasan Digitalisasi Daerah (TP2DD). Tim ini secara aktif mendorong integrasi digital di berbagai aspek pengelolaan keuangan daerah.
Dengan dukungan kelembagaan seperti ini, QRIS menjelma sebagai instrumen fiskal strategis—bukan hanya alat pembayaran. Ia bisa menjadi alat ukur efektivitas layanan publik, dasar perencanaan anggaran berbasis data aktual, bahkan pendorong kemandirian fiskal daerah.
Melalui QRIS, pemerintah daerah tidak perlu langsung menaikkan tarif pajak atau retribusi untuk meningkatkan PAD. Cukup dengan meningkatkan kepatuhan pembayaran dan mengurangi kebocoran, penerimaan daerah bisa meningkat signifikan.
Lebih jauh, implementasi QRIS bukan hanya soal teknologi, tetapi juga soal perubahan budaya pelayanan. QRIS menuntut aparatur pemerintah untuk lebih terbuka terhadap inovasi, lebih akurat dalam pelaporan, dan lebih cepat dalam merespons kebutuhan publik.
Masyarakat pun diuntungkan karena tidak perlu lagi antre panjang, membawa uang tunai, atau menghadapi ketidakpastian tarif. Semua menjadi lebih jelas, cepat, dan transparan. Ketika pelayanan publik berubah menjadi lebih baik, kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah daerah pun ikut meningkat.
Di tengah wacana desentralisasi fiskal yang terus mengemuka, QRIS hadir sebagai solusi nyata dan relevan. Ia membuka jalan bagi pemerintah daerah untuk lebih mandiri, baik secara keuangan maupun sistemik. Transformasi digital melalui QRIS bukanlah mimpi muluk, melainkan langkah realistis yang bisa dilakukan hari ini juga.
Tantangannya bukan pada ketersediaan teknologi, tetapi pada komitmen politik, kemauan untuk berubah, dan kesiapan sistem birokrasi daerah untuk beradaptasi. Jika dijalankan secara serius dan merata, QRIS bisa menjadi tulang punggung baru penerimaan daerah di era digital.
0 Response to "QRIS sebagai Katalis Transformasi Fiskal Daerah: Mewujudkan PAD yang Transparan dan Akuntabel"
Post a Comment