Perbedaan Sukuk Ritel dengan Jenis Investasi Lainnya

Penerbitan Sukuk Ritel (Sukri) selalu mendapat sambutan positif dari masyarakat dengan nominal penerbitan dan jumlah investor terus meningkat setiap tahunnya. Pada penerbitan Sukuk Ritel yang pertama kali pada tahun 2009, penawaran SR-001 hanya berhasil menarik 14.295 investor dengan total penerbitan Rp5,56 triliun. Namun, pada penerbitan SR-011 di tahun 2019 berhasil menembus Rp21,12 triliun yang berasal dari 35.026 orang investor. Di bawah ini akan kami jelaskan mengenai perbedaan sukuk ritel dengan jenis investasi lainnya, dan faktor apa saja yang dapat memengaruhi tingkat besar kecilnya permintaan sukuk ritel per tahun.

Sebelumnya mungkin perlu diketahui Pemerintah Indonesia dalam menerbitkan sukuk ritel didasarkan pada landasan hukum yang berlaku yaitu Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara (SBSN), dan undang-undang maupun peraturan lainnya. Hal ini membuktikan bahwa pemerintah telah berusaha membuat SBSN, termasuk Sukuk Ritel ini menjadi instrumen investasi yang murni syariah.

Sukuk Ritel

Pengertian Sukuk Ritel


Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang Negara Departemen Keuangan menjelaskan sukuk ritel adalah surat berharga negara yang diterbitkan berdasarkan prinsip syariah sebagai bukti atas bagian penyertaan terhadap aset Surat Berharga Syariah Negara (SBSN), yang dijual kepada individu atau perseorangan Warga Negara Indonesia (WNI) melalui agen penjual, dengan volume minimum yang telah ditentukan.


Latar Belakang Terbitnya Sukuk Ritel



Perekonomian Indonesia akan semakin baik apabila didukung dengan insfrastruktur yang memadai. Untuk mewujudkan infrastruktur yang lebih baik dibutuhkan dana yang tidak sedikit. Melihat APBN yang defisit sehingga belum mampu menggarap “pekerjaan rumah” dengan baik, Pemerintah kemudian mengeluarkan kebijakan dengan menerbitkan Surat Berharga Syariah Negara, salah satunya berupa Sukuk Negara Ritel yang sudah terbit hingga seri SR-011 dan akan terbit lagi pada tahun 2020 ini, seri SR012.

Perbedaan Sukuk Ritel dengan Instrumen Investasi Lain


Sukuk ritel tentunya memiliki perbedaan dengan instrumen investasi lainnya seperti saham, obligasi ritel, reksadana dan deposito. Berikut ini tabel perbedaan sukuk ritel dengan instrumen investasi lainnya.



Pemerintah semakin gencar menerbitkan instrumen sukuk ritel setelah diluncurkannya konsep IDM (Intern Dealer Market), dimana para Dealer Bank yang ingin mentransaksikan sukuk ritel pemerintah mengambil posisi sebagai market maker dan berbondong-bondong meramaikan aktivitas perdagangan obligasi syariah (sukuk) pemerintah.

Pemerintah sebagai obligor bertanggung jawab secara penuh atas pembayaran imbalan (fixed coupon) dan nilai nominal sukuk ritel. Pembayaran imbalan (fixed coupon) dan nilai nominal sukuk ritel oleh pemerimtah tersebut dilakukan berdasarkan ketentuan UU SBSN dan alokasi pembayarannya ditetapkan setiap tahun dalam UU APBN.

Faktor-Faktor Yang Memengaruhi Permintaan Sukuk Ritel 


1. Harga Sukuk Ritel

Harga sukuk adalah jumlah uang yang diperlukan sebagai penukar produk instrumen sukuk (obligasi syariah). Dalam teori permintaan (demand), yang merubah keseimbangan sepanjang kurva permintaan sukuk ritel adalah tingkat suku bunga dan harga sukuk ritel. Apabila harga sukuk ritel meningkat akan memengaruhi tingkat permintaan sukuk ritel, dikarenakan orang akan lebih memilih untuk menginvestasikan uangnya pada instrumen lain seperti deposito atau bahkan membeli Obligasi Negara Ritel (ORI) dari pada harus membeli sukuk ritel dengan imbal hasil yang tetap namun dengan harga yang tinggi.

Harga sukuk ritel berpengaruh negatif, namun tidak signifikan terhadap tingkat permintaan sukuk ritel. Ini artinya apabila harga sukuk mengalami kenaikan akan menyebabkan permintaan sukuk ritel mengalami penurunan begitupula sebaliknya, namun tidaklah terlalu signifikan.

2. Inflasi

Dalam ilmu ekonomi, inflasi merupakan kecenderungan dari harga-harga untuk meningkat secara umum dan terus menerus. Jadi jika ada kenaikan harga dari satu atau dua barang saja, hal itu tidak lantas langsung disebut terjadi inflasi, kecuali bila kenaikan tersebut meluas kepada (atau mengakibatkan kenaikan) sebagian besar dari harga barang-barang yang lain.

Jenis-jenis Inflasi

Penggolongan pertama didasarkan atas “parah” tidaknya inflasi tersebut. Disini kita bedakan beberapa macam inflasi :

  • Inflasi ringan (di bawah 10% setahun)
  • Inflasi sedang (antara 10–30% setahun)
  • Inflasi berat (antara 30 – 100% setahun)
  • Hiperinflasi (di atas 100% setahun)

Menentukan Tingkat Inflasi

Indikator yang sering digunakan untuk menghitung tingkat inflasi salah satunya adalah Indeks Harga Konsumen. Dalam bukunya yang berjudul Ekonomi Mikro Islam, Adiwarman Karim memberikan rumus yang dapat dipakai untuk menentukan tingkat inflasi (rate of inflation), yaitu:


Kondisi perekonomian yang bagus serta inflasi yang stabil mengakibatkan tingkat daya beli terhadap produk instrumen investasi juga akan sangat bagus, sehingga akan timbul dampak positif terhadap perdagangan dan investasi pada obligasi. Akan tetapi inflasi tidak memengaruhi sukuk (obligasi syariah), hal ini sesuai dengan teori yang ada bahwa inflasi berbanding terbalik dengan obligasi syariah, ketika inflasi naik maka obligasi syariah turun, begitu juga sebaliknya, ketika inflasi turun harga obligasi syariah justru naik.

Tingkat inflasi berpengaruh negatif tidak signifikan terhadap tingkat permintaan sukuk ritel. Semakin tinggi tingkat inflasi maka semakin rendah nilai riil imbal hasil, hal ini disebabkan karena sukuk ritel memberikan imbal hasil yang tetap sehingga menurunkan permintaan.


3. BI Rate

Sejak awal Juli 2005, BI menggunakan mekanisme "BI Rate" (Suku Bunga BI), yaitu BI dapat menentukan target suku bunga SBI yang dijadikan berbagai pihak sebagai landasan untuk berbagai kepentingan yang berhubungan dengan keuangan, tak terkecuali dengan harga sukuk ritel di pasar sekunder. Suku bunga merupakan elemen penting dalam analisis harga sukuk, dimana suku bunga akan mempengaruhi return yang akan diperoleh investor.

Apabila kenaikan BI Rate terwujud, IHSG melemah karena suku bunga deposito dan sukuk akan mengalami kenaikan. Investor IHSG akan beralih ke sukuk ataupun obligasi karena keuntungan yang didapatkan semakin tinggi.

BI Rate berpengaruh negatif signifikan terhadap tingkat permintaan sukuk ritel. Hal ini karena kenaikan BI Rate pada umumnya akan diikuti oleh kenaikan suku bunga perbankan (tabungan dan deposito), sehingga investor akan berpindah ke instrumen investasi lainya (tabungan dan deposito). 

Kerugian/Risiko Sukuk Ritel


Kerugian dari sukuk ritel adalah pada risiko pasar, risiko likuiditas, dan risiko gagal bayar. Yang harus dilakukan investor ketika terjadi gejolak pasar yang mengakibatkan turunnya harga jual sukuk ritel adalah tetap simpan sukuk ritel sampai jatuh tempo karena investor tetap akan mendapatkan imbalan setiap bulannya sampai jatuh tempo. Dan harga sukuk ritel akan kembali ke harga perdana (100%) pada saat jatuh tempo.

Di Indonesia sendiri pemerintah telah mengeluarkan sukuk ritel SR 001, SR 002, SR 003, SR 004, SR 005, dan SR 006, SR 007, SR 008, SR 009, SR 010, SR 011, dan untuk SR 012 yang akan terbit pada Februari tahun 2020 ini. Untuk SR 001 memberikan imbal hasil 12%, SR 002 dengan imbal hasil sebesar 8,7%, SR 003 dengan imbal hasil sebesar 8,15%, SR 004 dengan imbal hasil sebesar 6,5%, SR 005 dengan imbal hasil sebesar 6%, SR 006 dengan imbal hasil sebesar 8,75%, SR 007 dengan imbal hasil sebesar 8,25%, SR 008 dengan imbal hasil sebesar 8,3%, SR 009 dengan imbal hasil sebesar 6,9%, SR 010 dengan imbal hasil sebesar 5,9%, SR 011 dengan imbal hasil sebesar 8,05%. Sedangkan Sukuk Ritel SR 012 pada tahun 2020 ini masih menunggu rilis untuk tingkat imbal hasilnya.

0 Response to "Perbedaan Sukuk Ritel dengan Jenis Investasi Lainnya"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel